'
Sekapur Sirih :
Selamat Datang di Web Catatan Adnyana,perkaya pengetahuan Anda dengan membaca Catatan Adnyana.Terimakasih
Recommend on Google

Piciknya Demoralisasi Isu Kasta di Bali

gambar dari inputbali.com
Cara paling mudah untuk mendemoralisasi Orang Bali adalah dengan mengatakan bahwa mereka, utamanya pemeluk Hindu, masih menganut KASTA, sebuah konsep kuno yang—menurut orang di luaran sana—sama sekali tidak manusiawi karena menggolongkan masyarakat menjadi: Syudra, Weisya, Ksatria dan Brahmana.
Hasilnya?
Karena terkait dengan sistim kepercayaan, maka dampak yang paling nyata dari aksi demoralisasi ini adalah lunturnya keyakinan Orang Bali terhadap sistim kepercayaan (dan nilai-nilai kebijaksaan terkait) yang selama ini mereka anut secara turun temurun. Bahkan, sangat mungkin ada diantara mereka yang sampai malu menyebut dirinya sebagai orang Bali gara-gara Bali pernah menerapkan konsep kasta di masa silam.
Dampak berikutnya adalah polemik antar orang Bali itu sendiri, yakni pro-dan-kontra terkait keberadaan kasta, dalam kadar ringan.
Polemik antar Orang Bali sendiri (pro-dan-kontra terkait keberadaan kasta) lumayan cepat dibereskan oleh para pemuka agama Hindu dan pemuka adat di Bali dengan bhisama yang lebih menekankan “Catur Warna” (=empat golongan masyarakat sesuai fungsinya) ketimbang “Catur Wangsa” (=empat golongan masyarakat berdasarkan ‘trah’ keturunan.)
Namun, aksi demoralisasi dengan mengatakan “penganut Hindu menerapkan konsep kasta” masih terus berlangsung. Entah sampai kapan. Yang jelas, sedikit-banyaknya, telah berhasil menggerus keyakinan Orang Bali terhadap sistim kepercayaan dan tata nilai yang selama ini mereka anut, terutama di kalangan generasi muda.
Konkretnya?
Sebagian dari mereka menjadi mudah berpindah agama, dengan berbagai alasan yang salahsatunya karena termakan persuasi “Hindu menerapkan konsep kasta.” Sedangkan sebagiannya lagi dengan bangga menyatakan dirinya atheis (tidak beragama).

Benarkah Penganut Hindu di Bali Menerapkan Konsep Kasta?

Saya bukan type orang yang suka mencari-cari dalih atau menutup-nutupi sebuah fakta sekedar untuk memperoleh penilaian “bagus” atau “cool” atau “hebat” dari orang lain.
Melalui tulisan ini saya katakan dengan jelas dan tegas bahwa: IYA, Orang Bali yang mayoritas penganut Hindu—termasuk saya dan keluarga—MEMANG MENGENAL BAHKAN PERNAH MENERAPKAN KONSEP KASTA, dan saya tak pernah merasa malu apalagi rendah-diri oleh karenanya.
Tapi jangan salah. Bukan karena nama saya disertai embel-embel kata “Gusti” lalu saya menjadi tidak malu (atau malah bangga) dengan konsep kasta. Bukan. Samasekali bukan.
Justeru saya pernah berada pada fase hidup dimana saya membenci kenyataan bahwa ada kata “Gusti” yang melekat pada nama saya. Andai saat itu sudah dewasa, thus memiliki kemampuan material dan memahami peraturan kependudukan, mungkin kata depan “Gusti” ini sudah saya hapus.
Pada dasarnya, sejak usia muda (SMP dan SMA) saya memang tidak suka dengan segala hal yang membatasi hubungan antar-manusia.
Waktu SMP misalnya, saya tidak pernah menggubris ketika “I Wayan” atau “I Gede” mengingatkan agar saya tidak memakan jambu bekas gigitan mereka atau menenggak “es strup” sisa mereka. Lalu di SMA, ketika bolos sekolah dan harus meloncati pagar sekolah yang cukup tinggi, saya tak pernah ragu menawarkan punggung untuk dijadikan tumpuan melompat oleh teman-teman yang bolos.
Begitulah saya pribadi yang sejak masih sangat muda memang tak pernah setuju dengan penerapan konsep kasta yang ada di Bali, apalagi sampai membanggakannya. Tidak pernah. Namun, tentu saja ini hanya pendirian saya pribadi yang belum tentu mewakili pendirian saudara-saudara saya dan orang Bali pada umumnya.
Lalu, bagaimana dengan pendirian Orang Bali lainnya?
Sampai dengan tahun 1980an akhir, meskipun wilayah ujung Utara pulau Bali tergolong paling egaliter (jika dibandingkan dengan daerah lain), penerapan konsep kasta masih terjadi, terutama di wilayah pedesaan, setidaknya di desa tempat kelahiran saya, walaupun sudah tidak seketat di jaman kerajaan dahulu, mungkin.
Contoh yang paling konkret adalah tatacara kawin-mawin. Meskipun tidak dihalangi lagi seperti pada masa-masa sebelumnya, seorang gadis dari keturunan berkasta (Brahmana atau Ksatria atau Weisya) hanya boleh dibawa kabur (baca: kawin lari) bila dinikahi oleh seorang pria dari keturunan Syudra atau “Wang Jaba,”—tidak boleh diminta secara baik-baik. Mengapa? Ya karena penerapan konsep kasta.
Yang paling menyedihkan adalah ketika si gadis (dari keturunan berkasta) kemudian—karena alasan tertentu—cerai, statusnya menjadi tidak jelas. Di satu sisi dia sudah dianggap bukan anggota oleh keluarga besar mantan suaminya, di sisi lainnya dia juga tidak diterima sepenuhnya oleh keluarga besar asalnya. Meskipun diijinkan tinggal dan kebutuhan hidupannya ditanggung, tetap saja tidak boleh memanggil “Biyang” (=bunda) kepada ibu kandung yang melahirkannya. Sebagai gantinya dia harus memanggil “Gusti Biyang” (Weisya) atau “Gung Biyang” (Ksatria) atau “Ratu Biyang” (Brahmana).
Ini lah bagian yang paling tidak saya sukai! Kenyataan ini lah awalnya yang membuat saya pernah membenci kata “Gusti” yang melekat pada nama saya, di masa muda dahulu.
Sekarang, setelah dewasa?
Meskipun tidak benci (membenci apapun adalah perilaku yang tidak baik), saya tetap tidak respect terhadap orang yang dengan jumawa membanggakan kasta, soroh, trah, klan dan atributa-atribut primordial lainnya.
Bukan sistim kasta saja, pada dasarnya saya tidak suka ide-ide yang sengaja dibuat untuk membuat sekat-sekat pemisah hubungan antar-manusia (sekat kebangsaan, suku-bangsa, ras, agama, afiliasi politik dan sekat-sekat produk idiologis lainnya), termasuk sekat “theist” dan “atheist.”
Tidak saja kepada sebagian “kaum beragama” yang cenderung berbicara dan bersikap seolah-olah telah memegang Sertifikat Hak Milik kavling tanah surga, saya juga tidak respect terhadap individu yang suka menepuk dada sambil berteriak lantang bahwa dirinya seorang atheist dan mengolok-olok sanak-saudaranya yang masih beragama.
Terlebih-lebih sekat antar orang Bali itu sendiri yang mestinya masih terhitung sangat dekat, melalui penerapan konsep KASTA, jelas sangat tidak saya sukai.
Lalu, mengapa di awal tulisan anda mengatakan TIDAK PERNAH MERASA MALU (apalagi sampai rendah diri) ketika ada pihak luar menunjuk penerapan sistim kasta di Bali? Bukankah di sisi lainnya anda sendiri juga mengatakan tidak suka dengan penerapan sistim kasta?” mungkin ada yang bertanya demikian.

Piciknya Demoralisasi Isu Kasta di Bali

Saya tidak mengatakan bahwa setelah dewasa saya menjadi nyaman apalagi bangga dengan penerapan konsep kasta di Bali. Tidak. Melainkan:
  • Saya tidak perlu merasa minder atau malu di hadapan para pemeluk agama lainnya hanya karena ada konsep “Catur Warna” (atau bahkan “Catur Wangsa”) di dalam agama yang saya anut, yakni Hindu.
  • Saya tidak perlu meragukan sistim kepercayaan yang saya anut (Hindu), apalagi sampai terdemoralisasi lalu pindah agama.
  • Saya tidak perlu menjadi seorang atheist yang merasa lebih cerdas dibandingkan leluhur, saudara-saudara dan tetangga yang masih menganut Hindu.
Mengapa?
Ada 2 alasan:
Pertama, sejak menjadi bagian Indonesia yang berbentuk republik, penerapan konsep kasta di Bali sudah kian berkurang. Yang tertinggal saat ini hanya embel-embel nama; ada yang berembel-embel Ida Bagus, Dewa, Agung, Gusti, Wayan, dan lain sebagainya. Tak lebih dan tak kurang. Sedangkan hak dan kewajiban sama saja. Terhormat atau tidaknya seseorang lebih ditentukan oleh kualitas dan capaian pribadi masing-masing, bukan kasta, soroh, trah atau klan.
Kedua, semakin berumur, semakin banyak bergaul, semakin banyak pengalaman, semakin banyak membaca, semakin banyak berpikir, semakin banyak berkontemplasi, semakin banyak saya mendapati fakta menyedihkan bahwa, ternyata: KASTANISASI TERJADI DIMANA-MANA! (tidak dalam Hindu saja dan tidak di Bali saja.) Misalnya:
  • Produk: Ori, KW-1, KW-2, KW-3 dan seterusnya
  • Skill: pemula, terampil, mahir, ahli/pakar
  • Profesi: amatir, professional, tidak bersertifikat, bersertifikat
  • Jasa: Kelas Ekonomi, Bisnis, Eksekutif, VIP, VVIP
  • Korporasi: Executive, Middle Manager, Manager, Officer, Supervisor, Office Staf, Entry Level, Trainer, Buruh, OB.
  • Pengusaha: Konglomerat, Pengusaha Menengah, Pengushaa Kecil, Pengusha Mikro
  • Sektor Publik: Menteri, Dirjen, Eselon, Kadis, Kabag, Kasi, Karo, Seksi, dst
  • Harta: Orang Kaya, Kelas Menengah, Masyarakat Kurang Mampu, Masyarakat Miskin
  • Gegorafis: Orang pusat, Orang Daerah, Orang Kota, Orang Pinggiran, Orang Desa.
  • Agama: Nabi, sahabat nabi, keluarga nabi, pemimpi umat, pemuka umat, umat
  • Negara: Negara maju, negara berkembang, negara miskin.
  • Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Saya bisa rinci dan bahas kastanisasi lainnya di semua lini dan aspek kehidupan, selama berhari-hari. Tetapi dengan contoh di atas saja saya yakin anda sudah memahami maksud saya.
Artinya apa?
Jika anda menggunakan produk berkasta “KW,” maka suka atau tidak kelas dan gengsi anda tidak sama dengan mereka yang menggunakan barang berkasta “ORI.”
Jika anda hanya berkasta “office staff”, maka suka atau tak suka anda tidak sepenting dan seistimewa seseorang yang berkasta “Executive.” Mau tidak mau anda harus tunduk kepada semua perintahnya. Ide dan dan pemikira anda tidak akan peranah lebih bagus dibandingkan dia. Bahkan anda tidak berani tidak datang ketika dipanggil meskipun sudah tengah malam.
Jika anda berkasta “Orang Miskin” maka suka atau tidak anda akan menjadi penghuni bangsal dan fasilitas kelas III rumah sakit, berbagi dengan 8 orang miskin lainnya, bila anda dirawat inap. Berbeda dengan mereka yang berkasta “Orang Kaya” yang menjadi penghuni Faviliun, ruang ber AC, telivisi layar datar, ruang tamu, kamar mandi sendiri, dst.
Jika anda berkasta “Orang Desa,” maka suka atau tidak, terima atau tidak, anda dianggap lebih norak, lebih kuper, lebih terbelakang, jika dibandingkan dengan mereka yang berkasta “Orang Kota.”
Jika anda berkasta “Pemula,” maka suka atau tidak anda tidak akan bisa bersaing dengan mereka yang sudah berkasta “Professional” atau “Pakar.” Tidak ada orang yang mau mendengarkan ide, gagasan dan konsep yang anda sampaikan. Sebab manusia modern sekarang ini hanya mau mendengarkan pendapat seorang “Pakar.”
Jika anda berkasta “Umat,” maka suka-atau-tidak anda wajib mendengarkan dan mematuhi apapun yang ditetapkan oleh mereka yang berkasta “Pemuka/pemimpin Umat.” Mereka diasumsukan pasti lebih benar dibandingkan anda.
Dan seterusnya.
Yang jelas, sadar-atau-tidak, suka-atau-tidak, kehidupan anda diatur oleh konsep KASTANISASI di atas, terlepas apakah anda penganut Hindu atau bukan, Bali atau non-Bali, theist atau athesit.
Kenyataan itulah yang membuat saya menjadi sadar bahwa, ternyata, warna dan kasta dalam Hindu yang diterapkan oleh leluhur saya di Bali, hanya salah satu saja diantara konsep kastanisasi lainnya yang terjadi hampir di semua aspek dan lini kehidupan yang saya jalani sehari-hari.
Adalah sangat PICIK dan DANGKAL jika di era modern sekarang ini saya sampai begitu lebay mempermasalahkan konsep warna dan kasta dalam Hindu sementara saya sendiri sedang menjalani kehidupan yang hampir pada semua aspeknya mengandung unsur kastanisasi. Sungguh NAIF jika sampai saya merasa LEBIH CERDAS hanya karena berhasil menggantikan konsep kasta kuno dalam Hindu dengan konsep kasta baru ala kapitalis manusia post-modern sekarang ini.
Dan, yang paling penting, sebagai Orang Bali penganut Hindu saya tidak perlu merasa malu atau minder, ketika ada pihak luar yang mencoba mendemoralisasi saya dengan konsep warna dan kasta yang dikenal dan pernah diterapkan dalam masyarakat Hindu di Bali di masa lalu.
Tidak tahu orang lain. Saya pribadi TIDAK MERASA CUKUP BANGGA setelah di era modern sekarang ini pemuda manapun (terlepas dari kasta, suku bangsa, ras, bangsa, agama-nya) bisa melamar seorang gadis keturunan “Ida Bagus” atau “Tjokorda” atau “I Gusti” hanya karena memiliki kekayaan melimpah, meskipun bisa jadi hasil mengedarkan narkoba.
Sebab, di sisi lainnya saya juga mendapati kenyataan ternyata lamaran “I Kacrut” ditolak mentah-mentah oleh keluarga besar “Luh Mongkeg” (yang sesama dari soroh Pasek misalnya) hanya karena dia tidak memiliki cukup uang membayar biaya pre-wedding, pesta-pesta, liburan bulan madu, dan lain sebaginya, padahal mereka berdua sama-sama saling mencintai.
Saya juga TIDAK BANGGA mendapati banyak pemuda bernama “Ida Bagus” atau “Anak Agung” hanya menjadi tukang gebeg WC di hotel di era modern sekarang ini. Sebab di sisi lainnya, saya juga menemukan kenyataan ternyata “Wayan Joblar” yang seorang sarjana dengan predikat cumlaud pun nasibnya hanya jadi pegawai front office setelah 15 tahun bekerja di hotel—semua posisi manager di isi oleh “Michael, Dody, Debbie, Sarah” yang sengaja didatangkan dari Singapura, Jakarta, Surabaya.
Sekarang, jika ada yang bertanya kepada saya “apakah benar Orang Bali (penganut Hindu) menerapkan konsep kasta dalam bermasyarakat?,” maka tanpa ragu saya menjawab “IYA, BENAR!” Sebab, apa yang salah dengan itu? Toh penerapannya hanya terjadi di masa lalu. Lagipula saya malu bila sampai begitu berapi-api mempersoalkan isu kasta di Bali sementara menutup mata dengan kastanisasi yang massif terjadi pada semua aspek dan lini kehidupan sosial-politik-ekonomi-dan-budaya, di era modern ini.
Bagaimanapun juga saya sadar bahwa setiap individu memiliki pandangan dan opini sendiri yang bisa jadi sama atau berbeda dengan individu lainnya.
Nah, bagaimana pendapat anda, wahai semeton Bali? Apakah anda merasa perlu memusingkan konsep warna dan kasta ala Hindu sementara di sisi lainnya juga sedang berlangsung kastanisasi ala pola-pikir dan mental kapitalis yang tak mungkin bisa anda hapus?

dikutip dari: popbali.com/piciknya-demoralisasi-isu-kasta-di-bali/

Penulis: Gusti Putra

Makna dan Fungsi-Fungsi Pelangkiran


pelangkiran


Dalam Hindu Khususnya di Bali ada yang disebut pelangkiran. Pelangkiran berasal dari kata “langkir” artinya tempat memuja. Pelangkiran merupakan niyasa yang bersifat umum dan tergantung dari letaknya serta tujuan pemuja untuk menstanakan Bhatara / Dewa siapa yang ingin dipuja.

Fungsi Pelangkiran

Pelangkiran mempunyai banyak fungsi sesuati dengan kondisi dan tempatnya. Yaitu sebagai berikut:
  1. Untuk anak yang baru lahir sampai diupacarai 3 bulan, maka dibuatkan pelangkiran dari ulatan lidi/ ibus yang dinamakan berbentuk bulat, digantungkan di atas tempat tidur bayi. Itu adalah stana Sanghyang Kumara, putra Bhatara Siwa yang ditugasi ngemban para bayi.
  2. Setelah upacara 3 bulanan sampai terus dewasa – tua, pelangkiran diganti dengan bentuk yang dipakukan ke tembok. Ini pelinggih Kanda-Pat (bukan Hyang Kumara lagi)
  3. Di dapur, stana untuk Bhatara Brahma
  4. Sumur/jeding/kran air, untuk Bhatara Wisnu
  5. Di pasar tempat berjualan, untuk Bhatari Dewa Ayu Melanting
  6. Di Warung / Toko / Tempat Usaha, stana untuk Bhatara Sri Sedana sebagai pemberi kemakmuran kepada setiap umat manusia.
  7. Di kantor, untuk Bhagawan Panyarikan atau Dewi Saraswati.
Beberapa hal penting yang perlu kita ketahui tentang pelangkiran yaitu:
  1. Dalam penempatan pelangkiran di dalam rumah yang tidak boleh dilupakan ialah diperlukan ada pelangkiran di setiap kamar tidur (bagian kepala) untuk linggih ‘kanda-pat’,sedangkan untuk stana Sanghyang Kumara bagi bayi yang belum upacara 3 bulan, pelangkiran dari anyaman bambu. Dan pelangkiran juga di dapur untuk linggih Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu, ditempatkan ‘pulu’ berisi beras segenggam. Di pelangkiran itu perlu diisi ‘pejati’, yakni banten tegteg, daksina, peras, ajuman.
  2. Setiap purnama pejati ini diganti dengan yang baru. Setiap hari ‘ngejot’ atau maturan di pelangkiran-pelangkiran itu dengan canang sari berisi masakan hari itu, cukup dengan sesontengan memakai bahasa biasa saja, tidak usah pakai mantram.Tirta untuk mebanten ‘saiban’ itu minta di geria-geria, yaitu tirta pelukatan. Tirta itu bisa disimpan untuk keperluan sebulan atau lebih.
  3. Saat tilem yang dihatukarn adalah  pejati (tegteg daksidna peras ajuman) sama seperti purnama tapi di bawah pelakiran diisikan segehan nasi manca warna
  4. Jika ingin melinggihkan patung Dewa Siwa di pelangkiran kamar menurut Bhagawan Dwija boleh boleh saja akan tetapi  terlalu berlebihan, karena Dewa Siwa adalah niyasa Tuhan (Sanghyang Widhi) mestinya distanakan di lingkungan yang lebih sakral/suci. Bukan di pelangkiran kamar tidur yang mungkin digunakan untuk hal-hal khusus.
  5. Jika merantau dan ingin tetap selalu memuja Ida Sang Hyang Widhi letakkanlah pelangkiran diruangan khusus yang tidak dipergunakan untuk tidur. Karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di kamar tidur untuk stana Kanda Pat.
Apakah merupakan keharusan meletakkan pelangkiran di dalam kamar? mungkin itu akan menjadi salah satu pertanyaan dari semeton. Dalam lontar “Aji Maya Sandhi” disebutkan ketika manusia sedang tidur maka Kanda Pat itu keluar dari tubuh manusia dan bergentayangan, ada yang duduk di dada, di perut, di tangan dsb. sehingga mengganggu tidur manusia; oleh karena itu perlu dibuatkan pelangkiran untuk stananya agar mereka dapat melaksanakan tugas sebagai “penunggu urip“.
Jadi tentunya dengan meletakkan pelangkiran di dalam kamar, maka niscaya dalam tidur akan terasa lebih nyenyak karena sudah ada yang menjaga dari segala bentuk gangguan roh jahat.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika ada penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…
(sumber:sitidharma.org,sejarahharirayahindu.blogspot.com,pasektangkas.blogspot.com)

Makna dan Filosofi Tumpek Landep

tumpeklandep
Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki seribu pura, tradisi dan budaya yang saling mengisi dan melengkapi dengan ajaran agama Hindu. Bagi warga Bali yang mayoritas Hindu memiliki sebuah tradisi yang dinamakan Tumpek Landep. Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu. Hari raya Tumpek Landep sendiri merupakan rentetan setelah hari raya saraswati, dimana pada hari ini umat hindu melakukan puji syukur atas berkah yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati.

Makna Tumpek Landep

Hari raya tumpek landep jatuh setiap Saniscara/hari sabtu Kliwon wuku Landep, sehingga secara perhitungan kalender Bali, hari raya ini dirayakan setiap 210 hari sekali. Kata Tumpek sendiri berasal dari “Metu” yang artinya bertemu, dan “Mpek” yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu). Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris.
Dewasa kini, senjata lancip itu sudah meluas pengertiannya. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Akan tetapi ada satu hal yang tidak boleh disalah artikan, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup.

Filosofi Tumpek Landep

Dalam Tumpek Landep, Landep yang diartikan tajam mempunyai filosofi yang berarti bahwa  Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai – nilai agama. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Tumpek landep merupakan tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran – ajaran agama. Pada rerainan tumpek landep hendaknya umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, memohon wara nugraha kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur.
Menurut Dharma Wacana dari Ida Pedanda Gede Made Gunung, Jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan.
Jadi bisa disimpulkan menurut pendapat kami bahwa Pada Rahina Tumpek Landep hal yang paling utama yang tidak boleh dilupakan ialah hendaknya kita selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan kita dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan serta mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri.
(sumber: Ida Pedanda Gede Made Gunung, Hindu Nusantara)
(foto:panbelog.wordpress.com)

Bahaya pakai aplikasi tebak umur di foto, how-old.net, hati-hati!

Microsoft berhak untuk menggunakan foto yang kamu unggah dan mempublikasikannya dalam promosi apapun yang dilakukan oleh Microsoft. Wah!
Brilio.net - Akhir-akhir ini banyak orang yang heboh mencoba situs How-Old besutan Microsoft. Katanya sih bisa mendeteksi umur kamu dari foto yang kamu unggah ke dalam situs tersebut. Ada yang senang karena umur yang ditebak sama atau lebih muda dari usia yang sebenarnya, tapi ada juga sih yang bete gara-gara umur yang ditebak bahkan berpuluh-puluh tahun lebih tua. Ya kan?

Aplikasi itu memang menghibur, bahkan ada yang sampai ketagihan untuk mengupload banyak foto ke dalam situs ini untuk kemudian di-share kembali ke media sosial mereka. Lumayan, bisa buat sombong-sombongan atau menjahili teman yang kebetulan berada di foto yang sama.

Tapi kayaknya, mending kamu pikir-pikir ulang atau bahkan berhenti sama sekali mengunggah foto-foto di How-old.net ini deh. Kok gitu? Karena dalam aturan mainnya, tertulis bahwa pihak Microsoft berhak untuk menggunakan foto yang kamu unggah dan mempublikasikannya dalam promosi apapun yang dilakukan oleh Microsoft. Wah!
Dengan adanya ketentuan ini, itu berarti pihak Microsoft berhak untuk mendistribusikan, menyalin melakukan repoduksi bahkan mengedit foto yang kamu kirim melalui situs How-old.net itu.

Dikutip brilio.net dari laman CBC, Selasa (12/5), hal ini merupakan ancaman khususnya di bidang privasi. Dan karena hal ini pula, kamu nggak berhak menuntut apapun kepada pihak Microsoft atas penggunaan fotomu di berbagai hal yang mereka lakukan dengan fotomu.

Untuk itu, disarankan untuk membaca dengan cermat syarat dan ketentuan terlebih dahulu sebelum kamu memutuskan untuk menggunakan suatu produk. Sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan ke depannya. Kalau sudah begini, masih mau nebak umur kamu lagi?

Mengapa Orang Buleleng Mengistimewakan Perayaan Hari Pagerwesi?

Tradisi Bali menandai hari ini, Rabu (6/5) sebagai hari Buda Kliwon Sinta atau dikenal dengan nama hari raya PagerwesiBagi orang Bali yang lahir dan bermukim diBuleleng, khususnya seputaran Kota Singajara, Pagerwesi merupakan hari istimewa. Tidak seperti daerah lain di Bali, di Kota Singaraja, hari Pagerwesi dirayakan secara meriah, tak jauh berbeda dengan perayaan hari raya Galungan. Di daerah lain di Bali, perayaan Pagerwesi biasanya dilakukan secara sederhana. Itu sebabnya, Pagerwesi pun sering disebut sebagai Galungannya orang Buleleng

Gus Ma, seorang warga Kota Singaraja tetapi bekerja di Denpasar menuturkan saat hari Pagerwesi wajib baginya untuk pulang. "Ini Galungannya orang Buleleng, ya, harus pulang," kata Gus Ma. 


Karena dianggap setara dengan hari Galungan, kesibukan warga Buleleng menyambut hari Pagerwesi tidak jauh berbeda dengan kesibukan menyongsong hari Galungan. Bahkan, tak sedikit keluarga Buleleng yang memotong hewan piaraan untuk banten sodan

Saat Pagerwesi, orang Bali di Buleleng tidak hanya mengadakan persembahyangan di sanggah/merajan atau pun di sejumlah kahyangan jagatdi Buleleng, tetapi yang paling menarik perhatian tentunya tradisi mempersembahkanbanten punjung ke kuburan. Tradisi ini dilakoni warga yang memiliki kerabat yang sudah meninggal dunia dan jazadnya masih berada di liang lahat atau belum di-aben. Selesai mempersembahkan banten punjung, warga Buleleng akan mengadakan acara santap bersama di kuburan. Itu sebabnya, sejak pagi hari ini, kuburan di Buleleng cukup ramai dengan warga. 

Penyusun kalender Bali yang juga warga Buleleng, I Gede Marayana menuturkan tradisi perayaan Pagerwesi di Buleleng yang mirip dengan suasana perayaan hari Galungan memang sudah diwarisi sejak dulu. Bagi orang Buleleng, menurut Marayana, Pagerwesi merupakan otonan jagad, sama dengan Galungan. "Galungan dan Pagerwesi itu sama-sama jatuh saat hari Buda Kliwon," kata Marayana yang sering memberikan dharma wacana

Perayaan Pagerwesi, kata Marayana, merupakan rangkaian hari Saraswati. Karena itu, pemaknaannya tidak bisa dilepaskan dari makna hari Saraswati dalam kehidupan. Pada hari Saraswati, menurut Marayana, manusia menerima anugerah ilmu pengetahuan lalu menyelami kedalaman ilmu itu pada hari Banyupinaruh. Ilmu yang telah diraih itu digunakan sebagai bekal mengarungi kehidupan guna mendapatkan pangan (Soma Ribek) dan papan (Sabuh Mas). Setelah semua itu dicapai, kuatkanlah diri selayaknya pagar besi (Pagerwesi) agar bisa mencapai tujuan hidup yang sesungguhnya. 


Namun, Marayana menambahkan, perayaan spesial di hari Pagerwesi tidaklah terjadi di seluruh Buleleng. Perayaan meriah umumnya terlihat di Kota Singaraja. Di daerah lain, perayaan Pagerwesi tak berbeda jauh dengan daerah lain di Bali Selatan, hanya diisi persembahyangan biasa. 

Memang, kalau dicermati, perayaan meriah Pagerwesi umumnya terlihat di daerah Buleleng Timur, seperti Kecamatan Buleleng hingga Tejakula. Sementara di Buleleng Barat, seperti Gerokgak hingga Busungbiu, perayaan Pagerwesi dilakukan secara sederhana.

Ketua Kelompok Pengkajian Bali Utara, I Gusti Ketut Simba, sebagaimana dilansirantarabali beberapa tahun lalu pernah menjelaskan perbedaan perayaan Pagerwesi antara Buleleng Timur dan Buleleng Barat karena kedua daerah itu memang memiliki kultur berbeda, meskipun tidak terlalu kentara. Secara tradisional, wilayah Buleleng Timur sering disebut Dangin Enjung, sedangkan wilayah Buleleng Barat kerap disebut Dauh Enjung

Perbedaan kultur itu, menurut Simba, juga dikarenakan pengaruh dua ajaran yang dibawa dua dinasti yang berbeda. Wilayah Timur Buleleng mendapat pengaruh ajaran Siwa Pasupata dari Dinasti Sanjaya dan Sanaha di Jawa Tengah. Wilayah Buleleng Barat mendapat pengaruh sekte Buda Mahayana yang dibawa dinasti Warman.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat Bidang Lintas Iman, I Ketut Wiana mengatakan perayaan Pagerwesi yang meriah di Buleleng Timur merupakan tradisi lokal. "Kalau tradisi lokal itu biasanya karena berbagai faktor. Misalnya, pengaruh yang kuat dari tokoh lokal di masa lalu," kata Wiana. 


Namun, menurut Wiana, tradisi perayaan suatu hari raya yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain dalam agama Hindu merupakan suatu hal yang biasa. Di desa-desa Bali Aga, kata Wina, perayaan Galungan juga tidak semeriah perayaan di desa-desaBali Daratan

Kendati pun berbeda-beda, menurut Wiana, esensi perayaan hari Pagerwesi tetap sama, yakni ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas bimbingan Sang Hyang Pramesti Guru sebagai guru alam semesta, guru seluruh umat manusia. (b.)

sumber :www.balisaja.com/

Kamu Sering Meng’kretek’ Anggota Badanmu? Baca ini untuk Tahu Bahaya Tidaknya

Ketika tubuh kita terasa kaku-kaku dan pegal, kemudian kita membunyikan sendi hingga berbunyi ‘kretek-kretek’ hingga akhirnya memberikan sensasi relaksasi tersendiri. Untuk sejenak, rasa pegal itu bisa hilang atau tercipta suatu kepuasan tersendiri selepas kretek-kretek berbunyi.
Kadang-kadang ketika kamu jalan-jalan bersama teman-temanmu, tiba dikagetkan dengan bunyi ‘kretek’ yang dihasilkan dari pergerakan anggota badan salah satu temanmu. Seusai selesai dia melakukan kebiasaan tersebut, biasanya terpancar wajahnya yang lega dan rileks.
Atau mungkin saja justru kamulah yang sering mengagetkan teman-temanmu dengan bunyi ‘kretek-kretek’ dari anggota badanmu!

Amankah melakukan kebiasaan tersebut?

Secara teknis sebenarnya meregangkan otot hingga mengeluarkan suara tidaklah berbahaya. Namun, jika hal tersebut dilakukan secara rutin, maka lain lagi ceritanya.
“Mengkeretekkan otot atau menyelaraskan persendian tidak berbahaya, tapi jangan dilakukan sebagai kebiasaan,” kata Dr Christopher Anselmi, ahli chiropractik, di New York, AS.
Persendian tersusun dari ligamen, tendon, dan struktur jaringan yang lembut dan makin lama bisa aus. “Jika persendian tidak sesuai dengan posisinya, maka bisa menyebabkan kerusakan prematur,” katanya.
Suara “krek” yang kita dengar saat meregangkan otot memang terkadang menakutkan sehingga kita mengira tulang patah. Persendian mengandung cairan dan gas seperti nitrogen dan karbondioksida. Ketika cairan tertekan dan ada dorongan di persendian, gas akan keluar dan menghasilkan suara “keretek”.
Untuk mengurangi rasa pegal pada otot, Anselmi menyarankan untuk melakukan peregangan ringan. Cara paling mudah adalah saat sedang mandi kita berdiri tegak dan regangkan punggung perlahan. Setelah 5 menit, lenturkan punggung ke arah depan dan belakang, serta ke samping.
“Meregangkan punggung yang kaku sampai berbunyi tidak akan merusak tulang dan sendi, namun jika Anda merasa tidak nyaman pada persendian dan selalu ingin meregangkannya, mungkin memang ada masalah pada punggung,” katanya.
Opini hampir serupa disampaikan oleh dokter lainnya. “Boleh saja asal tidak sering-sering, misalnya jangan 5 menit sekali dibunyikan,” kata Dr Michael Triangto, SpKO, pakar kesehatan olahraga dari RS Mitra Kemayoran seperti dimuat di detik.com.
Jika dilakukan berlebihan, misalnya 5 menit sekali, maka bisa menyebabkan persendian mengalami keausan. Dalam jangka panjang, jika kebiasaan ini dibiarkan berlarut-larut bisa menyebabkan osteoarthritis (OA) atau sejenis peradangan pada sendi.
Selain itu, Dr Michael juga menyarankan agar membunyikan sendi hingga berbunyi ‘kretek-kretek’ sebaiknya dilakukan sendiri. Tidak dianjurkan meminta bantuan orang lain, sebab hanya masing-masing orang yang bisa benar-benar mengenal tubuhnya sendiri.
Sementara itu, dokter spesialis bedah orthopedi dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, dr. Benedictus Megaputera, MSi, SpOT sependapat bahwa kebiasaan ini sebaiknya tidak dijadikan kebiasaan. Menurutnya, tindakan ini bisa memicu pergeseran bantalan sendi antar tulang belakang.
“Bila badan terasa nyeri dan pegal-pegal setelah duduk lama sebaiknya melakukan istirahat sejenak sambil melakukan peregangan otot (stretching),” jelas dr. Benedictus.

Berikut Penjelasan Simpel tentang Sendi dan Bunyi ‘Kretek-kretek’-nya

Sendi merupakan hubungan antartulang sehingga tulang dapat digerakkan. Hubungan dua tulang disebut persendian (artikulasi).
Nah, yang dimaksud dengan ‘mengkretek’ sendi adalah menggerakkan sendi tulang hingga menghasilkan bunyi ‘keretek’. Sendi tulang mana saja yang biasa kita ‘kretek’? Yaitu sendi tulang-tulang jari, leher, tulang belakang, dan sebagainya.
Ada penjelasan ilmiah sederhana untuk fenomena tersebut. Untuk memahami bagaimana suara ‘kretek’ diproduksi, sangat perlu untuk mengetahui bagaimana sendi bekerja.
Dibalik Meng'kretek' Sendi Tulang
Gambar Sendi. Sumber Gambar : wikipedia.org
Bagaimana Cara Kerja Sendi
Sendi merupakan hubungan antar tulang sehingga tulang dapat digerakkan. Hubungan dua tulang disebut persendian (artikulasi). Masing-masing ujung kedua tulang dilindungi oleh lapisan untuk bergesekan satu sama lain dengan jaringan tulang rawan. Sehingga tidak menyakitkan serta saling merusak karena gesekan. Artikulasi tulang rawan ini didukung oleh bantalan cairan sinovial yang kental dan jelas, yang diproduksi oleh membran yang mengelilingi setiap sendi. Cairan sinovial tersebut melumasi sendi, seperti minyak melumasi bagian logam dalam mesin mobil kita, mencegah bagian keras dari pergesekan antar tulang kita.
Apa yang Membuat Sendi Berbunyi ‘Kretek’.
Bila kita ‘mengkretek’ sendi jari atau sendi tulang yang lainnya, berarti kita saat itu menarik tulang-tulang di sendi saling jauh dari satu sama lain. Hal ini membuka ruang di sendi, mengurangi tekanan di dalamnya. Tekanan yang berkurang menarik gas-gas yang kemudian terlarut dalam cairan sinovial.
Ketika oksigen dan karbon dioksida menjadi kurang larut, mereka membentuk gelembung. Suara ‘kretek’ yang kita dengar adalah suara gelembung yang terbentuk, seperti kita mendengar gelembung terbentuk ketika kita membuka kaleng soda, yang menurunkan tekanan di dalam kaleng, sehingga karbon dioksida terlarut dapat membentuk gelembung.
Fakta Menarik
Jika kita mengambil gambar x-ray dari sendi tulang tepat setelah kita meng’kretek’nya, gelembung-gelembunya akan terlihat. Hal ini membuat ukuran sendi bertambah sekitar 15%. Gelembung-gelembung ini tidak akan ada untuk selamanya. Setelah sekitar setengah jam, gas larut kembali ke dalam cairan sinovial.
Setelah kita meng’kretek’ sendi-sendi tulang jari kita, kita tidak dapat langsung meng’kretek’nya dan mendapatkan bunyi ‘kretek’ lagi dalam jangka waktu dekat, karena kita perlu gas-gas terlarut untuk mendapatkan efek itu. Jika suara ‘kretek’ itu muncul lagi dan dapat kita lakukan berulang-ulang kali, kemungkinan besar adalah karena ligamen kita bergerak kembali ke tempatnya.

Disadur dan dikembangkan dari sumber chemistry.about.comwikipedia.org, detik.com, kompas.com dan bisakimia.com

Kini pengguna BBM untuk Android bisa ganti PIN dengan angka favorit


Kini pengguna BBM untuk Android bisa ganti PIN dengan angka favorit
PIN BBM. Kuwaitiful.com

Merdeka.com - BlackBerry akhirnya menghadirkan fitur terbaru yang bisa membuat pengguna mengganti PIN BBM dengan kombinasi angka favorit mereka.
Fitur ini sendiri dihadirkan bersamaan dengan update terbaru yang hadir untuk menyambut jumlah unduhan ke-100 juta kali di Google Play Store, seperti dilansir PhoneArena (4/3).
Update BBM untuk Android versi 2.7 membuat pengguna bisa mengubah 6-8 kode numerik PIN BBM mereka. Namun patut diketahui jika fitur ini masuk dalam kategori premium hingga pengguna harus membayar USD 1,99 atau sekitar Rp 25 ribu untuk mendapatkannya. Selain bisa mengganti PIN, pengguna nantinya juga bakal terbebas dari iklan yang muncul dalam di newsfeed maupun yang berbentuk undangan pertemanan baru.
Fitur ini memang sangat berguna bagi pengguna, namun disayangkan pihak BlackBerry melihatnya sebagai langkah lain meraup uang dari pengguna di samping meluncurkan stiker berbayar untuk aplikasi messengernya tersebut.
Dalam update BBM untuk Android versi 2.7 ini BlackBerry juga memperbaiki fitur Blackberry Channels dan menghadirkan fitur berbagi foto melalui group chat. Aplikasi BBM untuk Android versi 2.7 ini sendiri sudah bisa Anda unduh langsung dari Google Play Store sekarang juga.
 

Banner Iklan

Banner Iklan Anda

Banner Iklan Anda
Copyright © 2011. Catatan Adnyana - All Rights Reserved
Published by Adnyana.com
Proudly powered by Blogger