gambar dari inputbali.com |
Hasilnya?
Karena terkait dengan sistim kepercayaan, maka dampak yang paling nyata dari aksi demoralisasi ini adalah lunturnya keyakinan Orang Bali terhadap sistim kepercayaan (dan nilai-nilai kebijaksaan terkait) yang selama ini mereka anut secara turun temurun. Bahkan, sangat mungkin ada diantara mereka yang sampai malu menyebut dirinya sebagai orang Bali gara-gara Bali pernah menerapkan konsep kasta di masa silam.
Dampak berikutnya adalah polemik antar orang Bali itu sendiri, yakni pro-dan-kontra terkait keberadaan kasta, dalam kadar ringan.
Polemik antar Orang Bali sendiri (pro-dan-kontra terkait keberadaan kasta) lumayan cepat dibereskan oleh para pemuka agama Hindu dan pemuka adat di Bali dengan bhisama yang lebih menekankan “Catur Warna” (=empat golongan masyarakat sesuai fungsinya) ketimbang “Catur Wangsa” (=empat golongan masyarakat berdasarkan ‘trah’ keturunan.)
Namun, aksi demoralisasi dengan mengatakan “penganut Hindu menerapkan konsep kasta” masih terus berlangsung. Entah sampai kapan. Yang jelas, sedikit-banyaknya, telah berhasil menggerus keyakinan Orang Bali terhadap sistim kepercayaan dan tata nilai yang selama ini mereka anut, terutama di kalangan generasi muda.
Konkretnya?
Sebagian dari mereka menjadi mudah berpindah agama, dengan berbagai alasan yang salahsatunya karena termakan persuasi “Hindu menerapkan konsep kasta.” Sedangkan sebagiannya lagi dengan bangga menyatakan dirinya atheis (tidak beragama).
Benarkah Penganut Hindu di Bali Menerapkan Konsep Kasta?
Saya bukan type orang yang suka mencari-cari dalih atau menutup-nutupi sebuah fakta sekedar untuk memperoleh penilaian “bagus” atau “cool” atau “hebat” dari orang lain.
Melalui tulisan ini saya katakan dengan jelas dan tegas bahwa: IYA, Orang Bali yang mayoritas penganut Hindu—termasuk saya dan keluarga—MEMANG MENGENAL BAHKAN PERNAH MENERAPKAN KONSEP KASTA, dan saya tak pernah merasa malu apalagi rendah-diri oleh karenanya.
Tapi jangan salah. Bukan karena nama saya disertai embel-embel kata “Gusti” lalu saya menjadi tidak malu (atau malah bangga) dengan konsep kasta. Bukan. Samasekali bukan.
Justeru saya pernah berada pada fase hidup dimana saya membenci kenyataan bahwa ada kata “Gusti” yang melekat pada nama saya. Andai saat itu sudah dewasa, thus memiliki kemampuan material dan memahami peraturan kependudukan, mungkin kata depan “Gusti” ini sudah saya hapus.
Pada dasarnya, sejak usia muda (SMP dan SMA) saya memang tidak suka dengan segala hal yang membatasi hubungan antar-manusia.
Waktu SMP misalnya, saya tidak pernah menggubris ketika “I Wayan” atau “I Gede” mengingatkan agar saya tidak memakan jambu bekas gigitan mereka atau menenggak “es strup” sisa mereka. Lalu di SMA, ketika bolos sekolah dan harus meloncati pagar sekolah yang cukup tinggi, saya tak pernah ragu menawarkan punggung untuk dijadikan tumpuan melompat oleh teman-teman yang bolos.
Begitulah saya pribadi yang sejak masih sangat muda memang tak pernah setuju dengan penerapan konsep kasta yang ada di Bali, apalagi sampai membanggakannya. Tidak pernah. Namun, tentu saja ini hanya pendirian saya pribadi yang belum tentu mewakili pendirian saudara-saudara saya dan orang Bali pada umumnya.
Lalu, bagaimana dengan pendirian Orang Bali lainnya?
Sampai dengan tahun 1980an akhir, meskipun wilayah ujung Utara pulau Bali tergolong paling egaliter (jika dibandingkan dengan daerah lain), penerapan konsep kasta masih terjadi, terutama di wilayah pedesaan, setidaknya di desa tempat kelahiran saya, walaupun sudah tidak seketat di jaman kerajaan dahulu, mungkin.
Contoh yang paling konkret adalah tatacara kawin-mawin. Meskipun tidak dihalangi lagi seperti pada masa-masa sebelumnya, seorang gadis dari keturunan berkasta (Brahmana atau Ksatria atau Weisya) hanya boleh dibawa kabur (baca: kawin lari) bila dinikahi oleh seorang pria dari keturunan Syudra atau “Wang Jaba,”—tidak boleh diminta secara baik-baik. Mengapa? Ya karena penerapan konsep kasta.
Yang paling menyedihkan adalah ketika si gadis (dari keturunan berkasta) kemudian—karena alasan tertentu—cerai, statusnya menjadi tidak jelas. Di satu sisi dia sudah dianggap bukan anggota oleh keluarga besar mantan suaminya, di sisi lainnya dia juga tidak diterima sepenuhnya oleh keluarga besar asalnya. Meskipun diijinkan tinggal dan kebutuhan hidupannya ditanggung, tetap saja tidak boleh memanggil “Biyang” (=bunda) kepada ibu kandung yang melahirkannya. Sebagai gantinya dia harus memanggil “Gusti Biyang” (Weisya) atau “Gung Biyang” (Ksatria) atau “Ratu Biyang” (Brahmana).
Ini lah bagian yang paling tidak saya sukai! Kenyataan ini lah awalnya yang membuat saya pernah membenci kata “Gusti” yang melekat pada nama saya, di masa muda dahulu.
Sekarang, setelah dewasa?
Meskipun tidak benci (membenci apapun adalah perilaku yang tidak baik), saya tetap tidak respect terhadap orang yang dengan jumawa membanggakan kasta, soroh, trah, klan dan atributa-atribut primordial lainnya.
Bukan sistim kasta saja, pada dasarnya saya tidak suka ide-ide yang sengaja dibuat untuk membuat sekat-sekat pemisah hubungan antar-manusia (sekat kebangsaan, suku-bangsa, ras, agama, afiliasi politik dan sekat-sekat produk idiologis lainnya), termasuk sekat “theist” dan “atheist.”
Tidak saja kepada sebagian “kaum beragama” yang cenderung berbicara dan bersikap seolah-olah telah memegang Sertifikat Hak Milik kavling tanah surga, saya juga tidak respect terhadap individu yang suka menepuk dada sambil berteriak lantang bahwa dirinya seorang atheist dan mengolok-olok sanak-saudaranya yang masih beragama.
Terlebih-lebih sekat antar orang Bali itu sendiri yang mestinya masih terhitung sangat dekat, melalui penerapan konsep KASTA, jelas sangat tidak saya sukai.
“Lalu, mengapa di awal tulisan anda mengatakan TIDAK PERNAH MERASA MALU (apalagi sampai rendah diri) ketika ada pihak luar menunjuk penerapan sistim kasta di Bali? Bukankah di sisi lainnya anda sendiri juga mengatakan tidak suka dengan penerapan sistim kasta?” mungkin ada yang bertanya demikian.
Piciknya Demoralisasi Isu Kasta di Bali
Saya tidak mengatakan bahwa setelah dewasa saya menjadi nyaman apalagi bangga dengan penerapan konsep kasta di Bali. Tidak. Melainkan:
- Saya tidak perlu merasa minder atau malu di hadapan para pemeluk agama lainnya hanya karena ada konsep “Catur Warna” (atau bahkan “Catur Wangsa”) di dalam agama yang saya anut, yakni Hindu.
- Saya tidak perlu meragukan sistim kepercayaan yang saya anut (Hindu), apalagi sampai terdemoralisasi lalu pindah agama.
- Saya tidak perlu menjadi seorang atheist yang merasa lebih cerdas dibandingkan leluhur, saudara-saudara dan tetangga yang masih menganut Hindu.
Mengapa?
Ada 2 alasan:
Pertama, sejak menjadi bagian Indonesia yang berbentuk republik, penerapan konsep kasta di Bali sudah kian berkurang. Yang tertinggal saat ini hanya embel-embel nama; ada yang berembel-embel Ida Bagus, Dewa, Agung, Gusti, Wayan, dan lain sebagainya. Tak lebih dan tak kurang. Sedangkan hak dan kewajiban sama saja. Terhormat atau tidaknya seseorang lebih ditentukan oleh kualitas dan capaian pribadi masing-masing, bukan kasta, soroh, trah atau klan.
Kedua, semakin berumur, semakin banyak bergaul, semakin banyak pengalaman, semakin banyak membaca, semakin banyak berpikir, semakin banyak berkontemplasi, semakin banyak saya mendapati fakta menyedihkan bahwa, ternyata: KASTANISASI TERJADI DIMANA-MANA! (tidak dalam Hindu saja dan tidak di Bali saja.) Misalnya:
- Produk: Ori, KW-1, KW-2, KW-3 dan seterusnya
- Skill: pemula, terampil, mahir, ahli/pakar
- Profesi: amatir, professional, tidak bersertifikat, bersertifikat
- Jasa: Kelas Ekonomi, Bisnis, Eksekutif, VIP, VVIP
- Korporasi: Executive, Middle Manager, Manager, Officer, Supervisor, Office Staf, Entry Level, Trainer, Buruh, OB.
- Pengusaha: Konglomerat, Pengusaha Menengah, Pengushaa Kecil, Pengusha Mikro
- Sektor Publik: Menteri, Dirjen, Eselon, Kadis, Kabag, Kasi, Karo, Seksi, dst
- Harta: Orang Kaya, Kelas Menengah, Masyarakat Kurang Mampu, Masyarakat Miskin
- Gegorafis: Orang pusat, Orang Daerah, Orang Kota, Orang Pinggiran, Orang Desa.
- Agama: Nabi, sahabat nabi, keluarga nabi, pemimpi umat, pemuka umat, umat
- Negara: Negara maju, negara berkembang, negara miskin.
- Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Saya bisa rinci dan bahas kastanisasi lainnya di semua lini dan aspek kehidupan, selama berhari-hari. Tetapi dengan contoh di atas saja saya yakin anda sudah memahami maksud saya.
Artinya apa?
Jika anda menggunakan produk berkasta “KW,” maka suka atau tidak kelas dan gengsi anda tidak sama dengan mereka yang menggunakan barang berkasta “ORI.”
Jika anda hanya berkasta “office staff”, maka suka atau tak suka anda tidak sepenting dan seistimewa seseorang yang berkasta “Executive.” Mau tidak mau anda harus tunduk kepada semua perintahnya. Ide dan dan pemikira anda tidak akan peranah lebih bagus dibandingkan dia. Bahkan anda tidak berani tidak datang ketika dipanggil meskipun sudah tengah malam.
Jika anda berkasta “Orang Miskin” maka suka atau tidak anda akan menjadi penghuni bangsal dan fasilitas kelas III rumah sakit, berbagi dengan 8 orang miskin lainnya, bila anda dirawat inap. Berbeda dengan mereka yang berkasta “Orang Kaya” yang menjadi penghuni Faviliun, ruang ber AC, telivisi layar datar, ruang tamu, kamar mandi sendiri, dst.
Jika anda berkasta “Orang Desa,” maka suka atau tidak, terima atau tidak, anda dianggap lebih norak, lebih kuper, lebih terbelakang, jika dibandingkan dengan mereka yang berkasta “Orang Kota.”
Jika anda berkasta “Pemula,” maka suka atau tidak anda tidak akan bisa bersaing dengan mereka yang sudah berkasta “Professional” atau “Pakar.” Tidak ada orang yang mau mendengarkan ide, gagasan dan konsep yang anda sampaikan. Sebab manusia modern sekarang ini hanya mau mendengarkan pendapat seorang “Pakar.”
Jika anda berkasta “Umat,” maka suka-atau-tidak anda wajib mendengarkan dan mematuhi apapun yang ditetapkan oleh mereka yang berkasta “Pemuka/pemimpin Umat.” Mereka diasumsukan pasti lebih benar dibandingkan anda.
Dan seterusnya.
Yang jelas, sadar-atau-tidak, suka-atau-tidak, kehidupan anda diatur oleh konsep KASTANISASI di atas, terlepas apakah anda penganut Hindu atau bukan, Bali atau non-Bali, theist atau athesit.
Kenyataan itulah yang membuat saya menjadi sadar bahwa, ternyata, warna dan kasta dalam Hindu yang diterapkan oleh leluhur saya di Bali, hanya salah satu saja diantara konsep kastanisasi lainnya yang terjadi hampir di semua aspek dan lini kehidupan yang saya jalani sehari-hari.
Adalah sangat PICIK dan DANGKAL jika di era modern sekarang ini saya sampai begitu lebay mempermasalahkan konsep warna dan kasta dalam Hindu sementara saya sendiri sedang menjalani kehidupan yang hampir pada semua aspeknya mengandung unsur kastanisasi. Sungguh NAIF jika sampai saya merasa LEBIH CERDAS hanya karena berhasil menggantikan konsep kasta kuno dalam Hindu dengan konsep kasta baru ala kapitalis manusia post-modern sekarang ini.
Dan, yang paling penting, sebagai Orang Bali penganut Hindu saya tidak perlu merasa malu atau minder, ketika ada pihak luar yang mencoba mendemoralisasi saya dengan konsep warna dan kasta yang dikenal dan pernah diterapkan dalam masyarakat Hindu di Bali di masa lalu.
Tidak tahu orang lain. Saya pribadi TIDAK MERASA CUKUP BANGGA setelah di era modern sekarang ini pemuda manapun (terlepas dari kasta, suku bangsa, ras, bangsa, agama-nya) bisa melamar seorang gadis keturunan “Ida Bagus” atau “Tjokorda” atau “I Gusti” hanya karena memiliki kekayaan melimpah, meskipun bisa jadi hasil mengedarkan narkoba.
Sebab, di sisi lainnya saya juga mendapati kenyataan ternyata lamaran “I Kacrut” ditolak mentah-mentah oleh keluarga besar “Luh Mongkeg” (yang sesama dari soroh Pasek misalnya) hanya karena dia tidak memiliki cukup uang membayar biaya pre-wedding, pesta-pesta, liburan bulan madu, dan lain sebaginya, padahal mereka berdua sama-sama saling mencintai.
Saya juga TIDAK BANGGA mendapati banyak pemuda bernama “Ida Bagus” atau “Anak Agung” hanya menjadi tukang gebeg WC di hotel di era modern sekarang ini. Sebab di sisi lainnya, saya juga menemukan kenyataan ternyata “Wayan Joblar” yang seorang sarjana dengan predikat cumlaud pun nasibnya hanya jadi pegawai front office setelah 15 tahun bekerja di hotel—semua posisi manager di isi oleh “Michael, Dody, Debbie, Sarah” yang sengaja didatangkan dari Singapura, Jakarta, Surabaya.
Sekarang, jika ada yang bertanya kepada saya “apakah benar Orang Bali (penganut Hindu) menerapkan konsep kasta dalam bermasyarakat?,” maka tanpa ragu saya menjawab “IYA, BENAR!” Sebab, apa yang salah dengan itu? Toh penerapannya hanya terjadi di masa lalu. Lagipula saya malu bila sampai begitu berapi-api mempersoalkan isu kasta di Bali sementara menutup mata dengan kastanisasi yang massif terjadi pada semua aspek dan lini kehidupan sosial-politik-ekonomi-dan-budaya, di era modern ini.
Bagaimanapun juga saya sadar bahwa setiap individu memiliki pandangan dan opini sendiri yang bisa jadi sama atau berbeda dengan individu lainnya.
Nah, bagaimana pendapat anda, wahai semeton Bali? Apakah anda merasa perlu memusingkan konsep warna dan kasta ala Hindu sementara di sisi lainnya juga sedang berlangsung kastanisasi ala pola-pikir dan mental kapitalis yang tak mungkin bisa anda hapus?
dikutip dari: popbali.com/piciknya-demoralisasi-isu-kasta-di-bali/
Penulis: Gusti Putra